Gadis Kecil di Ujung Mentari
Gadis Kecil di Ujung Mentari
Matahari mulai tenggelam dalam sinar senja. Burung-burung pulang ke sarang dan rumput liar bergoyang dihempas angin menjelang malam. Kaki kecil seorang gadis melangkah menyusuri jalan setapak. Ditangannya ada sebuah botol yang masih kosong karena belum diisi dengan hasil mengamen. Gadis berambut panjang berantakan yang terurai sampai sebahu itu baru pulang dari terminal kota, tempat puluhan penumpang berdesak-desakan menanti bus untuk pulang ke kampung halaman mereka.
Minggu depan lebaran tiba, tetapi bagi gadis kecil yang tinggal sebatang kara di tengah-tengah kota besar seperti ini tak ada lebaran. Tak ada yang bisa ia rindukan, dan tak ada kampung halaman untuk ia pulang.
Tadi pagi, ketika ia hendak turun dari bus. Tangannya ditarik oleh seorang penumpang. Penumpang itu adalah seorang ibu yang minta tolong agar barang-barangnya diantarkan ke pangkalan ojek di seberang jalan. Ia menurutinya, lalu ibu itu memberinya selembar uang lima ribu sebagai upah.
Akan tetapi, malangnya uang itu hilang kerena jatuh entah dimana. Gadis kecil itu lupa kalau saku celananya bolong, akibatnya rezeki itu pun melayang.
Sesampai di gubuk, di tengah-tengah hirup-pikuknya keramaian kota. Gadis kecil itu duduk memeluk lutut. Ia pandangi sisa roti semalam di atas tumpukan kardus. Sudah dikerumuni semut merah dan tak mungkin dimakan lagi.
Miris sekali, namun gadis yang masih kecil ini bisa bersikap ikhlas meskipun sedang menderita. ''Mungkin itu rezekinya semut,'' kata gadis itu dalam hati sambil mengelus perut yang sudah kelaparan. Ia akan menghabiskan malam yang panjang dengan perut keroncongan.
***
Kemarin ia sempat bertemu ayahnya, tetapi lelaki itu pura-pura tak mengenalinya di depan istri barunya yang kaya raya. Hatinya hancur karena ia tak diakui oleh ayahnya sendiri. Kadang ia berpikir, apa salah dirinya? Tetapi inilah hidup. Ibunya bilang kalau kita belum tahu akhir kehidupan, kita tak berhak menghakimi hidup. ''Tapi, bagaimana dengan hidup ibu? Apa aku tak berhak menghakiminya juga? Bukankah aku sudah tahu bagaimana akhir kehidupan ibu?'' Ia bertanya pada langit-langit kosong di gubuk kardusnya.
''Bukankah selama ini ibu wanita yang baik dan setia pada bapak? Terus, kenapa bapak harus menikah lagi? Lalu ia menelantarkan ibu sampai ibu jatuh sakit dan akhirnya sakit itu merenggut nyawanya.''
''Apa cinta ibu pada bapak begitu besar? Apa ibu tak pernah tahu sakitnya perlakuan bapak?'' Gadis kecil ini kini bertanya pada bulan yang cahayanya menembus sela-sela gubuk kardus itu.
Ia memang masih kecil. Usianya baru sembilan tahun, tetapi keadaan memaksanya berpikir dewasa. Ia harus lupa kalau dirinya masih anak-anak. Setiap malam ia berpura-pura lupa kalau anak seusianya tidur ditemani ibu tercinta yang membacakan mereka dongeng sebelum tidur. Ia harus lupa kalau anak seusianya keesokan harinya akan bangun untuk pergi ke sekolah sedangkan, ia bangun hanya untuk mengamen agar bisa menyambung hidup. Ia harus lupa semua yang dirasakan anak-anak seusianya. Ia telah berpura-pura lupa, dan membohongi dirinya selama empat tahun lamanya.
Akhirnya ia lelah berpikir, ia lelap dalam tidurnya. Terlihat jelas dari wajahnya ada sebuah keletihan yang dirasakan. Seharian ia berjalan tanpa alas kaki demi mencari sesuap nasi, namun tak ada hasilnya sama sekali.
Malam semakin larut, wajah bidadari kecil penuh kesedihan dan penderitaan itu begitu tentram dalam tidurnya. Mimpi itu rupanya sedang datang dalam tidurnya. Ia bermimpi bertemu ibu. Sosok yang ingin dipeluknya, disayangnya, dan diciumnya. Ibu datang mengajaknya pergi.
Ibu datang dengan baju putih yang bercahaya, wajahnya juga bercahaya, ibu memberikan sebuah senyum penuh cinta kepadanya. Ibu lalu memeluknya penuh kasih, beliau mengatakan akan menjemput gadis kecil itu secepatnya. Ia tidak ingin gadis itu kesepian di sini.
Sebelum ibu pergi, ibu berpesan kepadanya agar tidak meninggalkan shalat dan rajin mengaji. Hanya ia yang mampu menolong bapaknya yang lupa diri dari api neraka kelak, hanya ia anak mereka satu-satunya. "Walau hidupmu kekurangan dan penuh penderitaan, tetapi iman tak boleh kurang, Nak. Kamu harus jadi anak sholeh untuk ibu dan bapakmu", ucap ibu dalam mimpi itu.
“Ibuuuuu, jangan pergiiii! Geubri mau ikut dengan Ibu sekarang! Hiks...hiks...hiks...,” gadis kecil itu terjaga dari mimpinya. Ia merengek layaknya anak kecil yang merengek memanggil ibu kala terbangun dari mimpi buruk, namun sayangnya gadis kecil ini justru bangun tanpa bisa menemukan sosok ibu di sampingnya. Tidak seperti anak lainnya.
Ia terus menangis, sampai akhirnya tangisan itu mereda karena ia ingat sesuatu. Ibu akan menjemputnya jika ia sudah memenuhi nasehat ibu. Cinta ibu sangat besar untuk bapaknya, oleh karena itu ia harus berjanji akan menolong bapaknya dari dosa-dosa yang telah bapaknya lakukan. Tak pernah membenci bapak, walau bapak membencinya. Ia berpikir bapaknya sedang tersesat. Suatu saat bapak akan kembali, bersamanya seperti dulu. Jika semua belum terlambat.
Akhirnya, rasa kantuk kembali mengajaknya ke alam mimpi. Ia terlelap kembali dalam tidurnya, tidur terakhirnya di atas susunan kardus bekas. Berselimut angin malam dan hanya berbantalkan lengan.
***
Azan telah berkumandang. Gadis kecil itu terbangun dengan suara azan tersebut. Ia membuka matanya, duduk sebentar menenangkan diri. Lalu berjalan menyusuri fajar, menikmati udara di pagi buta, menuju ke sebuah surau di ujung sana.
Di sana ia sujud dengan untaian do'a dan air mata yang jatuh dari bola matanya. Setelah ia puas memanjatkan do'a untuk dirinya, untuk ibunya di sana dan untuk bapak tercinta. Ia pun pulang kembali ke rumah. “Semoga pagi ini rezekiku banyak. Bismillah!'', katanya dengan keyakinan yang mantap.
Akan tetapi, baru beberapa langkah ia menjauh dari gubuk kardusnya. Datanglah para petugas berseragam hijau. Gadis itu panik, ia tahu kalau hari ini akan tiba. Rumah kardusnya akan dihancurkan, namun ia belum siap dengan keadaan ini.
Sesudah itu terjadi kemana ia akan pergi? Dimana ia bisa berteduh lagi? Bagaimana dengan dinginnya malam? Ia tak punya sehelai selimut pun.
Ia tak bisa berkata-kata, beberapa hari yang lalu ia sudah dapat peringatan dan teguran. Akan tetepi, ia tak tau harus berbuat apa, ia hanya menunggu kapan perahu kardusnya itu dihancurkan bersama rumah-rumah kardus milik pemulung lainnya.
Gadis kecil itu diam, tetesan air matanya jatuh membasahi kaos tuanya saat melihat rumah kardusnya dimusnahkan. Melihat kejadian pagi ini hasratnya untuk berjumpa dengan ibu secepatnya semakin besar, tetapi ini belum waktunya. Ia masih ingin kembali dalam pelukan ayahnya, tetapi ia tak tahu caranya.
Biarlah gadis kecil ini menyelesaikan masalahnya dengan bijak. Bahkan para petugas pun tak menaruh iba pada tubuh kecil kurus itu. ''Ahh! anak ini hanya butuh waktu untuk menangis. Lanjutkan saja tugas kita!'' kata seorang petugas kepada rekannya yang sedang menggusur bangunan itu.
Benar, ia butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya. Jika Allah tak memberikan banyak waktu untuknya, ia akan mati kedinginan atau kelaparan di tempat ini. Dia akan bahagia karena telah menyelesaikan hidupnya dengan baik. Allah akan memanggilnya kembali untuk pulang. Berjumpa ibu di sana, menatap ayah dan istri barunya dari alam berbeda.
Matahari semakin meninggi di atas gedung-gedung besar yang mencakar langit. Gadis itu duduk, memainkan jarinya. Menunggu matahari esok, dan lusa. "Ini kehidupan yang kejam, Bu! Geubrina sedih...", teriaknya memecahkan keheningan pagi hari. Kali ini ia menghakimi hidupnya. Ia mengingkari nasehat Ibu, ia sudah amat rapuh.
Akan tetapi, tak ada yang mendengarnya. Mobil terus berlalu-lalang di jembatan indah di atas sana. Matahari terus menyinari bumi. Hanya seekor burung yang mendengarnya dan burung itu mulai bercerita kepada kawannya tentang kisah di pagi buta ini. Kisah gadis kecil di ujung mentari yang terhempas oleh kekejaman kehidupan.
Burung itu juga mengabarkan pada bumi bahwa di sana ada anak manusia yang luput dari perhatian dan kasih sayang. Akan tetapi, semua tak mengerti bahasa burung kecil. Mereka seolah buta, bisu, dan tuli pada nasib gadis kecil itu.
Tapi bukankah, Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan mereka? Bersabarlah Geubrina.
***
Minggu pagi, harian kota digegerkan dengan kabar penemuan manyat seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan tahun yang terhanyut di bawa arus sungai. Wajah mungil dan lugu itu telah membiru, tubuhnya telah membusuk, namun ada sebuah ketenangan yang terlukis dari bibirnya. Sebuah senyuman, senyuman kemenangan setelah menempuh derita kehidupan yang kelam. Senyuman perpisahan untuk Ayah, dan semua manusia sombong di kota ini.
“Selamat jalan Geubrina, tenanglah di alam sana.”